PENGANTAR PERPAJAKAN TENTANG KEPATUHAN PAJAK
HUBUNGAN
KEBIJAKAN PAJAK DAN KEPATUHAN PAJAK
Kebijakan
pajak sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan bagian dari sistem
perpajakan merupakan cara atau alat pemerintah di bidang perpajakan yang
memiliki sasaran tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial
dan ekonomi (Devano dan Rahayu, 2006:69). Kebijakan pajak ini mempunyai dua
dimensi, yaitu sanksi pajak dan tarif pajak (Grassmick dan Green, 1980).
Hubungan
kebijakan pajak dan kepatuhan pajak dapat dijelaskan dari sudut pandang
deterrence theory. Deterrence theory menjelaskan tentang pengaruh yang membuat
seseorang menjadi jera dalam bentuk tindakan hukuman terhadap perilaku yang
bersifat illegal atau tidak diinginkan.
Tindakan
hukuman dapat meliputi berbentuk sanksi legal (state-imposed punishment),
cacat (stigma) sosial (peer-imposed punishment), dan rasa
bersalah (self-imposed punishment) (Grassmick and Green, 1980).
Penerapan sanksi diharapkan dapat memberikan efek jera kepada Wajib Pajak
karena timbulnya social cost yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak. Setiap
Wajib Pajak tentu berusaha menghindari setiap pelanggaran ketidakpatuhan dalam
menjalarnkan kewajiban perpajakannya karena setiap pelanggaran ketidakpatuhan
beresiko menimbulkan social cost yang tinggi. Dengan demikian pengenaan sanksi
dalam upaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak sejalan dengan teori kepatuhan
Wajib Pajak yaitu deterrence theory.
Teori
paksaan juga dapat menjelaskan hubungan antara kebijakan pajak dan kepatuhan
pajak. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa paksaan fisik yang merupakan
monopoli penguasa adalah dasar untuk terciptanya ketertiban sebagai tujuan
hukum. Menurut teori paksaan, unsur sanksi merupakan faktor yang menyebabkan
seseorang mematuhi hukum. Demikian pula halnya dengan seorang Wajib Pajak harus
melaksanakan segala kewajibannya sebagai Wajib Pajak antara lain
menyelenggarakan pembukuan, memotong atau memungut pajak, melaporkan kewajiban
pajaknya dalam jumlah yang tepat secara tepat waktu, dan beberapa kewajiban
perpajakannya lainnya yang mengikat sebagai seorang Wajib Pajak. Setiap
pelanggaran yang terjadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam rangka
melaksanakan kewajiban pajaknya, dapat berpotensi merugikan diri Wajib Pajak
sendiri. Hal ini disebabkan sistem hukum pajak di Indonesia sebenarnya
menghasilkan compliance cost yang tinggi atas setiap tindakan
ketidakpatuhan melaksanakan kewajiban perpajakan.
Hasil
penelitian empiris juga membuktikan pengaruh kebijakan pajak terhadap kepatuhan
pajak sebagaimana penelitian yang dilakukan Thurman dkk. (1984) dan Grassmick
dan Green (1980). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa semakin besar
sanksi pajak yang dikenakan kepada Wajib Pajak maka perilaku Wajib Pajak
menjadi semakin patuh. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil sanksi pajak
yang dikenakan kepada pelanggar pajak maka semakin meningkatkan ketidakpatuhan
dari Wajib Pajak. Clotfelter (1983) menemukan pengaruh negatif tarif pajak
terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Semakin kecil tarif pajak yang dikenakan kepada
Wajib Pajak maka perilaku Wajib Pajak cenderung patuh. Sebaliknya, semakin
besar tarif pajak yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak maka perilaku
kepatuhan Wajib Pajak cenderung rendah.
Namun,
Hardika (2006) tidak menemukan bukti empiris yang menunjukkan pengaruh dari
kebijakan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Hal ini disebabkan pengenaan
sanksi pajak diikuti dengan terbukanya kesempatan untuk melakukan kolusi dengan
aparat pajak maka sanksi tidak akan memberikan efek apapun terhadap kepatuhan
Wajib Pajak.
HUBUNGAN
ADMINISTRASI PAJAK DAN KEPATUHAN PAJAK
Salah
satu unsur perpajakan menurut Suandy (2002:11) adalah administrasi pajak.
Administrasi pajak sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan cara-cara
atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak (Lumbantoruan, 1997:582).
Administrasi perpajakan diharapkan dapat merealisasikan peraturan perpajakan
dan meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Saat ini Direktorat
Jenderal Pajak telah melakukan berbagai upaya dalam rangka memodernisasi sistem
administrasi perpajakan dengan memanfaatkan dukungan teknologi informasi.
Pengembangan Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT) dan e-system
mulai e-Registration, e-Payment sampai e-SPT dan e-Filing.
Nasucha (2004) menjelaskan beberapa langkah tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak sebagai salah satu variabel yang berperan
besar dalam menentukan penerimaan pajak.
Pelaksanaan
sistem administrasi pajak yang baik berupa penyediaan formulir pajak maupun
kelengkapan instruksi dapat memudahkan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya sehingga dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Hal ini
sejalan dengan deterence theory yang mendasarkan pada paradigma manfaat.
Sistem administrasi yang didukung dengan sistem informasi yang baik dapat
menyediakan data dan informasi sehingga mampu mendukung efektifitas
administrasi perpajakan. Sistem administrasi yang demikian akan memberikan
manfaat bagi Wajib Pajak melalui penurunan biaya kepatuhan yang akan ditanggung
oleh Wajib Pajak. Wajib Pajak merasa mendapatkan kemudahan dalam menjalankan
kewajiban pajaknya sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dari Wajib
Pajak.
Marquardt
(1975) menjelaskan bahwa terdapat dua aspek berkaitan dengan administrasi
pajak, yaitu (1) kelengkapan instruksi, dan (2) kerumitan formulir. Hasil studi
Marquardt (1975) menemukan pengaruh positif dari kelengkapan instruksi terhadap
kepatuhan Wajib Pajak. Semakin lengkap instruksi yang ada dalam pengisian
formulir pajak maka akan meningkatkan kecenderungan kepatuhan dari Wajib Pajak.
Sebaliknya, semakin tidak lengkap atau tidak jelas instruksi dalam pengisian
formulir pajak akan menyebabkan Wajib Pajak cenderung menjadi tidak patuh.
Marquardt (1975) juga menemukan pengaruh negatif dari tingkat kerumitan
formulir terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Semakin mudah dan sederhana formulir
pajak yang harus diisi oleh Wajib Pajak maka terdapat kecenderungan Wajib Pajak
menjadi semakin patuh. Sebaliknya, semakin rumit formulir pajak beserta
lampirannya yang harus diisi oleh Wajib Pajak maka Wajib Pajak menjadi semakin
tidak patuh.
Hardika
(2006) menemukan bukti empiris bahwa administrasi pajak berpengaruh secara
signifikan terhadap kepatuhan pajak. Sistem administrasi perpajakan yang baik
akan berpengaruh terhadap kepatuhan pajak dalam pengertian bahwa tersedia
instruksi yang lengkap untuk melaksanakan kewajiban administrasi perpajakan,
serta formulir pajak yang sederhana akan mendukung kepatuhan dari Wajib Pajak.
HUBUNGAN
PELAYANAN PAJAK DAN KEPATUHAN PAJAK
Pelayanan
pajak menjadi aspek yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kepatuhan
Wajib Pajak. Pelayanan pajak sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengacu
pada Keputusan MENPAN No. 63 tahun 2004 yaitu segala kegiatan pelayanan yang
dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan organisasi menurut fungsi, pelayanan satu pintu, pelayanan dengan
dukungan teknologi informasi, dan kualitas prima dari petugas pajak merupakan
beberapa perubahan sistem pelayanan yang diterapkan oleh Direktorat Jenderal
Pajak.
Menyangkut
pelayanan pajak, Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya lebih memperhatikan aspek
penyempurnaan ketentuan perpajakan, peningkatan kualitas SDM, dan meningkatkan
kualitas dan manfaat sistem informasi perpajakan di Indonesia (Suryadi, 2006:
118). Sejalan dengan hal tersebut, Supriyati dan Hidayati (2007) menemukan
bukti empiris bahwa persepsi Wajib Pajak terhadap petugas pajak berpengaruh
secara signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Persepsi positif dari Wajib
Pajak terhadap petugas pajak dapat diwujudkan bila Wajib Pajak mendapatkan
pelayanan pajak baik dari petugas pajak. Semakin baik persepsi Wajib Pajak akan
dapat mempengaruhi sikap ataupun perilakunya yang terwujud munculnya kesadaran
akan pajak. Kesadaran pajak yang berasal dari sikap Wajib Pajak yang tentunya
diharapkan mampu mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak.
HUBUNGAN
MORAL WAJIB PAJAK DAN KEPATUHAN PAJAK
Moral
Wajib Pajak sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan motivasi
intrinsik untuk membayar pajak yang timbul dari kewajiban moral untuk membayar
pajak atau kepercayaan dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat dengan
membayar pajak (Cummings dkk. (2005: 3). Hubungan moral Wajib Pajak dan
kepatuhan pajak dapat dijelaskan menurut theory of moral reasoning.
Teori ini menyatakan bahwa keputusan moral dapat dipengaruhi adanya sanksi
pajak pada tingkatan moral reasoning yang rendah, peer expectation
(pengharapan akan adanya keadilan) pada tingkatan moderat dan issue keadilan (fairness)
pada tingkatan yang tertinggi. Wajib Pajak yang menggunakan prinsip moral dalam
pengambilan keputusan pembayaran pajak akan lebih patuh dibandingkan dengan
Wajib Pajak lainnya.
Aspek
moral dalam bidang perpajakan menyangkut dua hal, yaitu (1) lebih kewajiban
perpajakan merupakan kewajiban moral yang harus ditunaikan oleh setiap Wajib
Pajak, dan (2) menyangkut kesadaran moral terkait dengan alokasi atau
distribusi dari penerimaan pajak (Troutman, 1993). Wajib Pajak yang mempunyai
kesadaran moral yang baik sebagai warga negara dalam melaksanakan kewajiban
pajaknya berbeda dengan warga negara yang tidak mempunyai kesadaran moral.
Dengan demikian diharapkan dengan aspek moralitas dari Wajib Pajak akan
meningkatkan kecenderungan dari Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya.
Beberapa
penelitian empiris diantaranya studi Hardika (2006) menemukan bahwa moral Wajib
Pajak berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Bukti
empiris tersebut mendukung temuan sebelumnya dari Troutman (1993) yang
menemukan bahwa Wajib Pajak dengan alasan moral relatif lebih patuh dibanding
Wajib Pajak lain tanpa alasan moral. Dengan demikian beberapa bukti empiris
tersebut sejalan dengan theory of moral reasoning dalam menjelaskan
pengaruh dari moral Wajib Pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
HUBUNGAN
SIKAP WAJIB PAJAK DAN KEPATUHAN PAJAK
Sikap
Wajib Pajak sebagaimana telah diuraikan sebelumnya menyangkut pernyataan atau
pertimbangan evaluatif dari Wajib Pajak, baik yang menguntungkan maupun tak
menguntungkan mengenai obyek, orang atau peristiwa. Sikap Wajib Pajak
mencerminkan bagaimana silkap Wajib Pajak terhadap aspek lingkungan pajak baik
sikapnya terhadap peraturan pajak, kebijakan pajak, administrasi pajak, dan
pelayanan pajak. Sikap yang baik dari Wajib Pajak meningkatkan kecenderungan
kepatuhan dari Wajib Pajak.
Hubungan
sikap Wajib Pajak dan kepatuhan pajak dapat dijelaskan menurut teori ekuitas (equity
theory). Teori ini menekankan pada aspek keadilan. Teori ini menyangkut
aspek hak dan kewajiban Wajib Pajak. Apabila Wajib Pajak memandang bahwa hak
dan kewajibannya sebanding dalam artian bahwa adanya keseimbangan antara
kewajibannya sebagai Wajib Pajak dan hak-hak yang dapat diperolehnya maka Wajib
Pajak cenderung lebih patuh dalam menjalankan kewajiban pajaknya. Teori ini
juga menyangkut keadilan dalam hubungannya dengan perlakuan terhadap setiap
Wajib Pajak. Apabila Wajib Pajak merasa bahwa keadilan pajak telah diterapkan
kepada semua Wajib Pajak dengan tidak membedakan perlakuan antara Wajib Pajak
badan dengan perorangan, Wajib Pajak besar dengan Wajib Pajak kecil dalam
artian bahwa semua Wajib Pajak diperlakukan secara adil maka setiap Wajib Pajak
cenderung untuk menjalankan kewajiban pajaknya dengan baik atau dengan kata
lain menimbulkan kepatuhan dalam diri Wajib Pajak.
Troutman
(1993) dalam penelitian empirisnya menemukan pengaruh yang signifikan dari
sikap Wajib Pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Sikap Wajib Pajak terhadap
peraturan pajak, kebijakan pajak, dan administrasi pajak dapat mempengaruhi
bagaimana kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun,
Hardika (2006) dalam studinya memberikan bukti empiris yang berbeda yaitu sikap
Wajib Pajak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal antara lain: kondisi masyarakat WP dan
fiskus yang belum siap dengan self assesment system, sistem administrasi
perpajakan yang belum sepenuhnva siap mendukung pelaksanaan self asessment
system, serta kebijaksanaan perpajakan yang seringkali mengalami perubahan.
Komentar
Posting Komentar